Akademisi Diaspora Indonesia Menyebarkan Kebencian Yang Merugikan Masyarakat

Herman Saksono, PhD
5 min readMay 25, 2022

--

Peneliti postdoktoral Brunel University, Mila Anasanti, menyebarkan informasi yang menyesatkan dan homofobik di Twitter pada 21 Mei 2022. Walaupun akhirnya dia mengapus tulisannya, namun konten tersebut sudah terlanjur menyebar dimana-mana dan beresiko menyesatkan masyarakat. Perilaku bermasalah Mila ini adalah satu dari rangkaian penyesatan yang rutin dilakukan oleh akademisi dan dokter Indonesia. Masyarakat harus mencecar apa agenda mereka.

Sebagai contoh, pada 21 Mei, Mila membuat klaim salah tentang riset berskala besar yang menemukan bahwa liwath (penetrasi seksual laki-laki dengan laki-laki lainnya) bukan karena genetik.

Twit salah dari Mila Anasanti bahwa perilaku seks bukan karena genetika (21 Mei). Twit sudah dihapus per 25 Mei.

Klaim Mila adalah kesalahan tafsir atas riset ilmiah. Benjamin Neale, salah satu peneliti dalam riset tersebut menegaskan bahwa “berbagai efek genetik kecil yang tersebar di seluruh genom menyumbang [ke perilaku seks].” Dengan kata lain, perilaku seksual tidak dipengaruhi oleh satu gen tunggal, melainkan berbagai gen.

Andrea Ganna, peneliti utama dari riset tersebut, juga langsung membantah twit Mila. Dia mengatakan bahwa twit-twit Mila tidak akurat.

Twit dari Andrea Ganna (Mei 22) , peneliti genetika yang membantah Mila Anasanti. Ganna juga menegaskan bahwa perilaku seksual adalah efek dari berbagai titik di genom manusia.

Ganna juga menegaskan bahwa risetnya justru menemukan bahwa beberapa titik di genom manusia mempengaruhi perilaku seks. Jadi, sekali lagi, perilaku seksual bukan efek dari satu gen, melainkan efek dari berbagai gen.

Twit bantahan tersebut menekankan bahwa seksualitas adalah kombinasi dari efek lingkungan dan biologis. Efek lingkungan, menurut Neale, dimulai dari rahim hingga orang-orang di sekitar kita pada detik ini.

Kesimpulannya, seksualitas itu sangat kompleks dan faktor genetik, biologis, serta lingkungan berpengaruh. Temuan ilmiah ini bertentangan dengan twit Mila yang mengatakan bahwa gen tidak ada pengaruhnya.

Twit salah Mila Anasanti bahwa faktor lingkungan adalah penentu perilaku seksual (22 Mei). Twit sudah dihapus per 25 Mei.

Singkat kata, genetika mempengaruhi orientasi seksual. Para peneliti riset tersebut juga menjelaskan temuan mereka dengan bahasa sehari-hari. Penjelasan tersebut dapat dibaca di geneticsexbehavior.info.

Bahaya Terapi Konversi Seksual

Mila juga menyebarkan konten-konten menyesatkan bahwa orang bisa sukses mengubah orientasi seksualnya:

Twit salah Mila yang mengatakan orientasi seksual bisa diubah. Twit sudah dihapus per 25 Mei.

Paper yang dimaksud adalah penelitan problematik Robert L. Spitzer bahwa terapi konversi orientasi seksual (yang bermasalah itu) sukses mengubah orientasi seksual. Masalahnya, orang-orang yang diinterview Spitzer tidak dipilih secara acak, melainkan direkrut dari organisasi yang mengadvokasi terapi konversi.

Metode riset ini dikritik dalam systematic review-nya Amy Przeworski dkk. dari tahun 2019. Dalam systematic review ini, Przeworski dan koleganya mengumpulkan dan meninjau 35 artikel penelitian ilmiah tentang terapi konversi orientasi seksual. Mereka mengkritik riset Spitzer karena peserta penelitian tidak diseleksi secara acak dan dari populasi yang sangat religius. Akibatnya, hasil penelitiannya sangat bias karena orang-orang dari kelompok tersebut cenderung lebih melaporkan perubahan seksual pasca terapi.

Przeworski dan koleganya juga menekankan bahwa terapi konversi seksual itu berbahaya. Mereka juga menyarankan bahwa orang-orang yang tidak nyaman dengan orientasi seksualnya untuk mengambil terapi untuk menerima dan merayakan orientasi seksual mereka:

Terapi yang berupaya untuk mengubah orientasi seksual tidak mungkin berhasil dan, dalam banyak kasus, dapat menyebabkan kerugian yang signifikan bagi pasien. […] Individu yang mengalami konflik antara orientasi seksual mereka dan identitas lain harus mencari terapi afirmasi untuk belajar bagaimana mengintegrasikan identitas ini. — (Przeworski et al., 2019)

Pada tahun 2012, Spitzer minta maaf secara terbuka karena penelitiannya mendukung terapi konversi seksual. Dia mengatakan bahwa “tidak ada cara untuk menentukan apakah perubahan orientasi seksual [yang disebut di penelitiannya] itu valid.” Berikut ini adalah permintaan maaf dari Spitzer tentang dukungannya ke terapi reparatif (terapi konversi orientasi seksual):

Saya berutang permintaan maaf kepada komunitas gay karena penelitian saya membuat klaim yang tidak terbukti tentang kemanjuran terapi reparatif. Saya juga meminta maaf kepada setiap orang gay yang membuang waktu dan energi untuk menjalani beberapa bentuk terapi reparatif karena mereka percaya bahwa saya telah membuktikan bahwa terapi reparatif bekerja dengan beberapa individu yang “bermotivasi tinggi”.

Singkat kata, klaim Mila salah. Terapi konversi seksual tidak terbukti efektif.

Misinformasi Soal Bahaya Gay

Mila juga menyebarkan informasi sesat bahwa sains mengatakan bahaya gay dan liwath (Mei 21):

Twit sesat Mila yang mengaitkan orientasi seksual sebagai penyebab HIV. Twit sudah dihapus per 25 Mei.

Ini adalah klaim menyesesatkan yang mudah dibantah. Orang tertular HIV karena aktivitas beresiko tinggi, seperti hubungan seks yang tidak aman, berhubungan seks dengan banyak orang, dan jarum suntik yang tidak steril. Aktivitas-aktivitas ini bisa dilakukan oleh semua orang, baik yang heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Dengan kata lain, seseorang yang homoseksual tidak lantas menjadi rentan terinfeksi HIV.

Penularan HIV juga bisa dicegah dengan memakai kondom yang benar atau melalui terapi PrEP.

Penutup

Twit-twit Mila sangat jauh dari fakta ilmiah tentang orientasi seksual dan kesehatan seksual. Namun, Mila hanyalah satu dari banyak akademisi dan dokter Indonesia yang secara sistemik terus menerus menyebarkan informasi sesat tentang orientasi seksual. Tahun 2020, dosen-dosen IPB mengadakan seminar bermasalah tentang “perlunya mencegah kebebasan perilaku seks menyimpang.”

Seminar ini bermasalah karena orientasi seksual tidak perlu dicegah.

Poster seminar bermasalah yang diadakan oleh Institut Pertanian Bogor (13 Agustus, 2020).

Tahun 2016, dalam sebuah acara televisi nasional, dr. Fidiansjah membuat klaim salah bahwa “orientasi seksual homoseksual adalah gangguan jiwa” sambil mengangkat buku panduan diagnosis gangguan jiwa. Padahal, setelah dicek langsung, buku tersebut justru mengatakan:

“Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai gangguan.” (PPDJG III. 1993)

Perilaku para akademisi dan dokter ini tentu sangat berbahaya karena terus memojokkan warga LGBTQ yang sudah dipinggirkan oleh masyarakat. Privilege sosial yang dimiliki para akademisi dan dokter itu bukannya dimanfaatkan untuk melindungi manusia, tapi justru untuk menyebarkan kebencian. Alih-alih melindungi kekerasan seksual yang tidak konsensual, mereka justru sibuk mengurusi kegiatan konsensual yang pribadi. Kerusakan pada masyarakat yang mereka timbulkan akan menjadi permanen. Kita perlu mencecar para akademisi tersebut dan agenda apa yang sedang mereka giring.

NB: Untuk orang Indonesia, saya memakai konvensi Indonesia yang menyebut dengan nama depan. Untuk orang Amerika Serikat (AS), saya memakai konvensi Amerika Serikat yang menyebut orang dengan nama akhir.

Bacaan

  • Riset skala besar yang menemukan bahwa faktor genetis mempengaruhi perilaku orientasi seksual (Ganna et al., 2019). (PDF, Versi sederhana).
  • Systematic review 35 paper yang menunjukkan terapi konversi orientasi seksual tidak efektif dan justru berbahaaya (Przeworski et al., 2020). Dengan kata lain, orientasi seksual bisa serta-merta diubah. (Link).
  • Artikel Tirto tentang terapi PrEP di Indonesia untuk mencegah penularan HIV. (Link).

--

--

Herman Saksono, PhD
Herman Saksono, PhD

Written by Herman Saksono, PhD

Assistant Professor at Northeastern University. My research is in digital health equity. Website: hermansaksono.com

Responses (1)